Kilasdepok.com, JAKARTA. Semua elemen masyarakat Indonesia perlu mengevaluasi diri, sebagai negara agraris, ironisnya kita jauh tertinggal dari negara lain dalam keberlanjutan pangan. Jangan sampai kita mengalami bencana pangan. Evaluasi total tidak hanya dilakukan pemerintah Indonesia, tetapi habit masyarakat Indonesia juga sangat rendah khususnya mengenai sampah pangan.
Problem keberlanjutan pangan Indonesia yang amburadul itu berdasarkan data yang disampaikan oleh Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Arif Satria saat melakukan webinar pada 17 Februari 2021 bahwa indeks keberlanjutan pangan (Food Sustainability Index) Indonesia berada di peringkat 60, di bawah Zimbabwe peringkat 30 dan Ethiopia peringkat 27.
Food Sustainability Index (FSI) dirilis oleh Economist Intelligence Unit dan Barilla Center for Food and Nutrition (BCFN) Foundation. Disusun berdasarkan 58 indikator yang mengukur keberlanjutan sistem ketahanan pangan di tiga tema: Kehilangan/Penyusutan Pangan dan Limbah, Pertanian Berkelanjutan, dan Gizi. Indeks tersebut berisi tiga jenis indikator kinerja utama: lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Pangan merupakan kebutuhan semua orang, tetapi jenis pekerjaannya paling tidak diminati. Lihat saja, petani sekarang semua generasi tua. Anak muda sudah sedikit sekali yang mau terjun menggeluti ‘pekerjaan kotor’ itu. Jika dilihat dari indikator kehilangan atau penyusutan pangan, juga mencakup aspek tenaga kerjanya, luas lahannya dan kemampuan hasilnya.
Seperti penjelasan Clifford Geertz dalam buku Involusi Pertanian, bahwa sistem pendidikan pertanian modern di Jawa tidak akan berubah menjadi lebih baik, karena ada linearitas yang terjadi di sana, akhirnya melahirkan keadaan yang involutif karena jumlah penduduk terus bertambah. Belum lagi alih fungsi lahan yang semakin parah. Sementara hasil panen sering merugi, dengan waktu proses yang menurut perhitungan ekonomi sangat sia-sia.
Misalnya penanaman padi, dari penggarapan lahan sampai masa panen dan jadi uang memakan waktu sekitar empat bulan, pun hasil jual gabah sama dengan modalnya, belum lagi banyak petani yang terjerat hutang, dan lainnya. Hasil sensus penduduk, data kemiskinan menumpuk di desa yang berbasis pertanian. Padahal dari tangan kotor mereka, orang kota bisa tidur nyenyak karena kekenyangan.
Indikator paling parah adalah sampah pangan kita nomor dua terbanyak di dunia setelah Arab Saudi. Lihat saja, kebiasaan makan kita selalu bersisa, malu rasanya menghabiskan makanan sampai tandas tanpa satu butir nasi tersisa. Menyedihkan, setiap tahun, satu orang Indonesia menghasilkan 300 kilogram limbah pangan.
Limbah pangan ini perlu dicermati secara serius. Soalnya jika merujuk pada indeks pemeringkatan Food Scurity Index, Indonesia berada dalam urutan ke-62 dari 113 negara pada 2019. Pada sebagian orang gemar membuang makanan, padahal di sudut-sudut kota, bahkan mungkin tetangga mereka, mengalami kelaparan. Ada problem mendasar pada keterjangkauan, ketersediaan dan kualitas pangan yang menentukan indeks Food Scurity Index.
Penjelasan Prof. Arif Satria yang menohok juga menunjuk pada indikator Global Hunger Index yang mengukur dan melacak kelaparan di seluruh dunia. Hasilnya Indonesia memperoleh skor 19,1 jauh melampaui Filipina (19), Vietnam (13,6), Malaysia (13,3) dan Thailand (10,2). Semakin besar skor, kelaparan yang diderita semakin parah juga. Jika melihat data di atas, sebenarnya kita sedang mengalami ‘bencana pangan nasional’.
Berbagi Pangan

Sedekah Pangan Nasional, begitu program yang diluncurkan Aksi Cepat Tanggap. Program ambisius yang menghentak kemanusiaan kita. Program ini mencoba menjembatani dan memberi solusi masalah keterjangkauan dan ketersediaan pangan bagi penduduk miskin Indonesia.
Pertama, keterjangkauan pangan berupa upaya membagi dan berbagi pangan kita yang berlebih untuk mereka yang membutuhkan. Produksi pangan kita mungkin berlebih, bisa sampai eksport dengan kualitas baik. Tetapi karena ketimpangan ekonomi, angka kemiskinan yang semakin naik, problem kelaparan masih jauh lebih tinggi dibandingkan tetangga kita, Malaysia dan Thailand.
Di Indonesia, produksi pangan yang kita konsumsi, seperti jenis serealia, umbi-umbian, buah-buahan (sukun) dan batang pohon (sagu, aren). Sebaran konsumsi pokok ini terjadi akibat kondisi alam yang akhirnya memaksa mereka menyesuaikan diri. Seperti di Papua, sagu lebih dibutuhkan karena bisa dipanen sendiri, dibandingkan beras yang sangat susah mereka dapatkan.
Produksi makanan pokok Indonesia masih terbilang tinggi menurut data FAO pada 2019. Produksi jagung mencapai 30,6 juta ton, padi kita urutan ke-3 dunia dengan menghasilkan 54,6 juta ton, dan kentang masih mencapai 1,3 juta ton. Tapi dari produksi pangan itu, sebagian di eksport, sebagian dikonsumsi dengan berlebih sampai menghasilkan sampah pangan.
Sampah pangan, jika didonasikan bisa mengurangi angka kelaparan masyarakat miskin. Sampah pangan ini dihasilkan antara lain saat ada gathering, pesta pernikahan, ulang tahun dan lainnya. Sering kali kita menyediakan makanan jauh lebih banyak dibandingkan yang memakannya. Limbah pangan keluarga juga sangat banyak. Kebiasaan masyarakat memasak untuk sehari malah banyak yang tersisa dan basi. Tetapi masyarakat tidak menyadarinya.
Kedua, ketersersediaan pangan merupakan langkah antisipasi, bisa menjadi lumbung pangan nasional, program ketahan pangan dan menjadi salah satu aspek utama mitigasi pangan. Ketersediaan pangan biasanya paling dirasakan saat terjadi bencana. Aspek penting kedua yang terancam akibat bencana setelah keselamatan jiwa adalah pangan.
Dalam konsep mitigasi bencana, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu: bahaya, kerentanan, bencana, dan mitigasi bencana. Kita sudah sama-sama tahu bahwa bahaya, yang juga berari “risiko” pangan sudah masuk ancaman serius di Indonesia, diindikasikan dengan jumlah indeks kelaparan kita lebih rendah dibanding negara tetangga di ASEAN. Maka, sebenarnya tingkat bahaya bencana pangan yang sudah masuk tahap pandemi, menyebabkan kerugian sosial ekonomi dunia sangat parah.
Penjelasan masalah kerentanan pangan, bahkan lebih rendah dibandingkan Etiopia dan Simbabwe. Jika hal ini tidak ditangani serius, kasus malnutrisi, sampai gizi buruk akan terus menghantui masyarakat miskin. Jangan sampai kasus bencana kelaparan seperti yang terjadi di Yahukimo terulang. Jatuh korban baru bertindak. Ironi tikus mati di lumbung padi.
Negeri Sadar Bencana

Selama ini, ACT banyak belajar dari berbagai penanganan bencana. Sebagai langkah antisipasi, menyusun total disaster management (TDM) bencana. Untuk memberikan layanan operasi beras di berbagai bencana, ACT juga terus memperluas Lumbung Beras Wakaf (LBW) di Jawa, mendirikan Wakaf Distribution Center (WDC) sebagai lumbung untuk menampung dan mendistribusikan pangan kepada penduduk miskin dan prasjeahtera.
Apalagi Indonesia yang merupakan negeri penuh bencana, harusnya manajemen dan mitigasinya sudah menjadi aturan baku. Sering kali, pemerintah tidak mengantisipasinya, malahan melakukan hal yang terbalik dengan sejarah. Karena masyarakat sadar, hidup di antara bencana, sebenarnya sejak dulu sudah melakukan antisipasi. Ada satu kearifan lokal mengenai kebijakan ketahanan pangan. Di desa-desa di Jawa, Bali dan Lombok, ada lumbung sebagai tempat penyimpanan pangan. Di Jawa, lumbung padi masih bertahan sampai sekarang, sebagai antisipasi saat musim paceklik, warga boleh meminjam padi saat lumbung dibuka. Pengembalian pinjaman dilakukan saat musim panen tiba.
Untuk hal ini, desa-desa di seluruh Indonesia jauh lebih siap menghadapi dampak terburuk jika bencana. Ketahanan pangan mereka lebih kuat karena kebutuhan bisa dipenuhi dari sekitar rumah mereka sendiri. Kebutuhan sayuran bisa dari pekarangan, ada stok beras, jarak rumah dan tingkat kesehatan lebih terjaga karena kerja fisik. Solidaritas sosial juga masih kuat.
Berbeda dengan orang kota, semuanya serba tergantung dengan orang lain. Mereka mungkin bekerja dan menghasilkan uang, tetapi untuk memenuhi kebutuhan pangan harus dikirim dari desa. Makanya ada satu filosofi hidup orang desa, filosofi petani, “kita menanam untuk secukupnya memberi makan keluarga, dan sebagian besar untuk mencukupi kebutuhan makan orang lain”. Mereka bekerja dengan penuh pengabdian menanggung hajat hidup banyak orang. [Oleh: Sunano]