Kilasdepok.com, JAKARTA. Kedaulatan pangan sangat erat terkait dengan kesadaran menanam. Apalagi saat ini, masalah pangan menjadi problem serius di berbagai negara termasuk Indonesia yang dikenal sebagai negeri agraris. Maka menanam menjadi aktivitas yang sangat mulia.
Minimal ada tiga problem terkait tanaman dan aktivitas menanam. Pertama, Indonesia sedang berjuang mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri sampai pada taraf kedaulatan pangan. Dari hasil panen tanaman pokok pangan, kita masih belum mencukupi, dan tambah dengan kita gagal melakukan diversifikasi pangan dari beras ke produk pangan lokal masih gagal dilaksanakan, seperti pemanfaatan jagung, pisang, ubi kayu, kentang, sagu, dan talas.
Saat ini, konsumsi beras nasional masih 92,9 kilogram per kapita per tahun yang sejak beberapa tahun yang lalu tidak pernah menurun. Sementara jumlah lahan sawah yang tersedia dan laju pertumbuhan penduduk terus meningkat. Makanya, jika gagal menurunkan angka konsumsi beras, sampai tahun 2030 bisa menjadi bencana pangan karena jumlah penduduk terus merangkak naik. Pertambahan lahan dan kemampuan produksi pangan dihitung dengan deret hitung dan jumlah penduduk seperti deret ukur.
Berbeda dengan Jepang yang juga sama-sama negara konsumen beras, pada tahun 1950an mencapai 75 kilogram per kapita per tahun, berhasil menekan konsumi sampai ke posisi 25 sampai 30 kilogram per kapita per tahun. Konsumsi makanan pokok orang Jepang bisa bergeser dari nasi menjadi menu olahan pangan lokal. Thailand juga berhasil menurunkan angka konsumsi beras mencapai 80 kilogram.
Kedua, saat ini, sumber bencana utama yang banyak terjadi adalah masalah ekologi, kerusakan lingkungan, hilangnya tanaman. Kehilangan tanaman menyebabkan rentetan bencana, banjir, longsor, banjir bandang, perubahan iklim sampai kekeringan hebat. Saat ini kita sedang menghadapi dan berjuang atas isu penting mengenai krisis lingkungan dan perubahan iklim yang semakin parah dan meluas.
Krisis lingkungan terjadi akibat penghancuran alam sehingga terjadi ketidakseimbangan. Kekacauan kosmik menjadi tanda alam semakin tua dan melemah. Kita tiba-tiba menyaksikan banjir dimana-mana dan dalam skala yang sangat luas dan merusak.
Ketiga, Ketika satu daerah berubah menjadi semakin metropolitan, melakukan proses pembangunan, yang pertama terdampak adalah hilangnya tanaman dan berubah menjadi beton beton raksasa menjulang. Tanah-tanah menjadi mengeras dan kehilangan daya serapnya. Jika sudah begitu, akan mudah mendatangkan bencana, khususnya banjir.
Alih fungsi lahan di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Menurut data Kementerian Pertanian, rata-rata luasan lahan baku sawah berkurang sebesar 650 ribu hektare (ha) per tahun atau ekuivalen dengan 6,5 juta ton beras (BPS), dengan asumsi produksi beras sebesar 10 ton per tahun.
Saat ini Indonesia memiliki lahan baku sawah sebesar 7,46 juta hektare (ha) menurut data dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Pemerintah memang gencar membuka hutan menjadi lahan sawah, tetapi jumlah penyusutan lahan sudah produktif juga tidak sebanding.
Pesan Kemanusiaan

Salah satu pesan Nabi Muhammad mengenai masalah menanam sebagai aktivitas mulia bahkan ketika sudah kiamat “Jika tiba waktunya kiamat, sementara di tanganmu masih ada biji kurma, maka tanamlah segera.” (HR. Ahmad). Hadist ini adalah pesan optimisme bahwa masalah pangan, juga masalah menanam, dan melestarikannya merupakan tindakan moral yang sangat mulia. Bahkan ketika sudah saat kiamat, akhir dan perjalanan bumi dan isinya, kita masih disuruh menanam. Pesan hadist itu juga tidak hanya sekedar menanam, tapi lebih pada hasilnya berupa pangan.
Bencana dalam konotasi lain juga merupakan kiamat kecil. Manusia, dipapar dengan ujian sampai batas kemampuan diri dan psikologisnya. Maka, bisa dimaknai, kewajiban menanam juga penting dilakukan sebelum terjadinya bencana alam, dan dampak kerusakan lingkungan. Apalagi setiap terjadi bencana, pangan selalu terdampak pertama.
Pangan menjadi masalah pertama dan biasanya perlu menyiapkan dana besar untuk menanggulanginya. Masyarakat akan menjerit pertama ketika mereka sudah tertimpa bencana, tidak ada apapun yang bisa dimakan. Bagi orang tua masih bisa menahan, tetapi jika mendengar tangis anak karena kelaparan, bisa melakukan apapun untuk mendapatkannya.
Pesan kemanusiaan juga bahwa mitigasi bencana berkaitan dengan pangan merupakan hal yang sangat penting. Maka menanam sebelum terjadi bencana harus menjadi spirit bersama dan menjadi kesadaran semua orang. Dengan ketersediaan pangan yang cukup, apabila terjadi bencana, kepanikan akan sedikit mereda.
Untuk itu, perlu perencanaan yang komprehensif terdiri dari perencanaan yang bersifat makro, regional sampai bersifat teknis, detail. Perencanaan regional mencakup pemetaan potensi bencana di wilayah masing-masing. Pemahaman atas potensi ancaman menjadi strategi mitigasi. Dalam perencanaan straregi mitigasi ini, pendekatan ilmiah bisa bertemu dengan usulan dari masyarakat.
Usulan masyarakat yang biasanya berbasis budaya lokal sudah mengakar misalnya mengenai adanya lumbung pangan desa. Biasanya tiap rumah juga memiliki lumbung pangan sendiri untuk menyimpan hasil panen mereka. Pengalaman penulis waktu menjadi relawan kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT) saat terjadi bencana gempa di Lombok, bangunan lumbung padi kuno sudah sangat canggih. Selain lumbung dibuat sangat kokoh, pada setiap tiang terdapat mangkok kayu untuk mengantisipasi ancaman hama pengerat seperti tikus, juga tahan dari bencana seperti gempa. Usulan lain bisa berupa pemanfaatan lahan lebih maksimal sehingga hasilnya lebih banyak.
Perencanaan regional dirinci lagi dalam perencanaan detail dan teknis. Sebagai contoh, mitigasi daerah rawan gempa membutuhkan perencanaan detail terkait standar desain bangunan. Jangan sampai saat terjadi bencana bangunan lumbung lebih dahulu roboh dibandingkan rumah induk.
Mengingat luasnya wilayah Indonesia dan bervariasinya potensi rawan bencana masing-masing, penanganan bencana tidak bisa hanya bergantung pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dibutuhkan partisipasi semua orang, berbagai komunitas, lembaga kemanusiaan, organisasi massa dan semua instasi untuk memiliki kesadaran terhadap bencana dan melakukan antisipasi.
Maka, penguatan mitigasi bencana, harus mengukur berdasarkan tingkat risiko. Untuk daerah yang memiliki tingkat kerawanan tinggi, penjabaran mitigasi risiko bencana harus sampai tingkat yang sangat detail. Jika perlu, sampai ke scenario terburuk yang bisa terjadi. Bisa jadi melihat potensi bencana yang mungkin terjadi akibat kesalahan tata kelola, perubahan iklim, kesalahan tekhnologi atau ulah manusia. Dari situ bisa dikembangkan identifikasi sumber daya yang tersedia. Sumber daya menyangkut orang, biaya, dan peralatan.
Belajar dari berbagai bencana selama tahun 2020 sampai awal 2021, persoalan utamanya adalah kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Seharusnya mitigasi bencananya adalah pembenahan lingkungan, dengan mengembalikan pada fungsi dan kondisi seperti semula. Bisa jadi tidak bisa sepenuhnya sama tetapi harus diusahakan fungsinya sama. [Oleh: Sunano]